Duniaku dulu
Siang itu kami duduk memilih dibawah teduhnya pohon ketapang, menikmati desiran angin dan bau laut serta suara riuh alunan daun kelapa yang terlihat berdiri berjajar di tepi pantai berpasir putih itu. Disela-sela pohon nyiur selain tertinggalnya sisa kelapa yang terjatuh dan telah berubah warna menjadi coklat dan basah, terhampar potongan-potongan rumput yang dapat tumbuh di sekitar pantai ini, bentuk tanahnya pun naik turun tak beraturan.
Setelah menukar pakaian dengan baju renang berwarna coklat muda yang berhiaskan bunga-bunga kecil berwarna putih yang tersebar memenuhi permukaannya, dengan potongan punggung terbuka dan juntaian kain putih kecil yang tersambung pada gaun renangku. Sekujur tubuhku di balur cream untuk menahan terpaan matahari dari wadah kecil biru bulat itu, tak lupa rambutku yang panjang sepunggung itu juga diikat. Sebenarnya aku tak suka dengan pembaluran ini karena menurutku terlalu berminyak dan membuatku tak dapat bergerak karena lengket, serta rambut yang terikat ini juga membuatku tersiksa yang akan menyebabkan kepalaku seolah tertarik berat ke bawah jika terkena air.
Saat inilah uji coba pertama dari latihan berenang yang kuikuti, dengan berbekal pelampung yang menjepit lenganku aku mulai memasuki arena laut yang jernih, dari atas permukaan dapat kuamati butiran putih pasirnya serta kerang-kerang kecil berwarna kapur dan berbentuk kipas. Menurutku ini lebih menarik daripada sekedar berenang karena setelah kucoba, air ini membuat mataku sangat perih jika terbuka ketika sedang berenang. Dengan tanganku yang kecil kukumpulkan kerang-kerang itu, macam-macam bentuknya ada yang rusak berubah menjadi kerang berongga yang tak beraturan, ada juga yang cantik seperti bentuk kipas kecil dan juga yang berbentuk seperti terompet milik suku di kepulauan pasifik, hal ini pernah kudengar bahwa penduduk negara itu dapat meniupkan bunyi dari kerang seperti ini tapi dengan ukuran yang lebih besar, menjadi alunan musik.
Tiba-tiba kudengar suara teriakan yang berasal dari jauh, ketika ku melongok ke belakang hah! aku nampak seperti ditengah laut! namun tak jauh dari tempatku suara-suara kakakku dan temannya asyik berlomba menaiki perahu karet yang sedari tadi mereka pompa dengan menggunakan kaki secara bergilir. Pantai ini aneh menurutku aku dapat berjalan sejauh ini namun tetap saja masih dangkal hingga seperutku. "Hati-hati Ken, jangan jauh-jauh!" teriak kakakku yang masih asyik bergantung di sisi perahu karet itu sambil tetap menghalau gurauan temannya, kulihat di kejauhan sana yang pasti lebih dalam lagi batasnya, para orang dewasa nampak sedang berbicara dengan membentuk lingkaran. Tak bisa kubedakan yang mana papaku karena semua memakai topeng dan tabung berat yang digendong dipunggungnya.
Tiupan angin mengeringkan rambutku, aku kembali berjalan ke arah pantai. Disambut handuk yang membuatku hangat serta makan nasi hangat membuat selera menjadi enak, apa ini pengaruh dari sisa garam di bibirku? tak peduli lagi, selesai ini aku masih ingin mengumpulkan kerang-kerang yang bila kuhembuskan napas kearah lubangnya akan muncul kaki-kaki yang lebih tepatnya disebut capit karena memang sakit bila dijepit.
Pantai Natsepa Ambon sekitar tahun 1983-1984
Setelah menukar pakaian dengan baju renang berwarna coklat muda yang berhiaskan bunga-bunga kecil berwarna putih yang tersebar memenuhi permukaannya, dengan potongan punggung terbuka dan juntaian kain putih kecil yang tersambung pada gaun renangku. Sekujur tubuhku di balur cream untuk menahan terpaan matahari dari wadah kecil biru bulat itu, tak lupa rambutku yang panjang sepunggung itu juga diikat. Sebenarnya aku tak suka dengan pembaluran ini karena menurutku terlalu berminyak dan membuatku tak dapat bergerak karena lengket, serta rambut yang terikat ini juga membuatku tersiksa yang akan menyebabkan kepalaku seolah tertarik berat ke bawah jika terkena air.
Saat inilah uji coba pertama dari latihan berenang yang kuikuti, dengan berbekal pelampung yang menjepit lenganku aku mulai memasuki arena laut yang jernih, dari atas permukaan dapat kuamati butiran putih pasirnya serta kerang-kerang kecil berwarna kapur dan berbentuk kipas. Menurutku ini lebih menarik daripada sekedar berenang karena setelah kucoba, air ini membuat mataku sangat perih jika terbuka ketika sedang berenang. Dengan tanganku yang kecil kukumpulkan kerang-kerang itu, macam-macam bentuknya ada yang rusak berubah menjadi kerang berongga yang tak beraturan, ada juga yang cantik seperti bentuk kipas kecil dan juga yang berbentuk seperti terompet milik suku di kepulauan pasifik, hal ini pernah kudengar bahwa penduduk negara itu dapat meniupkan bunyi dari kerang seperti ini tapi dengan ukuran yang lebih besar, menjadi alunan musik.
Tiba-tiba kudengar suara teriakan yang berasal dari jauh, ketika ku melongok ke belakang hah! aku nampak seperti ditengah laut! namun tak jauh dari tempatku suara-suara kakakku dan temannya asyik berlomba menaiki perahu karet yang sedari tadi mereka pompa dengan menggunakan kaki secara bergilir. Pantai ini aneh menurutku aku dapat berjalan sejauh ini namun tetap saja masih dangkal hingga seperutku. "Hati-hati Ken, jangan jauh-jauh!" teriak kakakku yang masih asyik bergantung di sisi perahu karet itu sambil tetap menghalau gurauan temannya, kulihat di kejauhan sana yang pasti lebih dalam lagi batasnya, para orang dewasa nampak sedang berbicara dengan membentuk lingkaran. Tak bisa kubedakan yang mana papaku karena semua memakai topeng dan tabung berat yang digendong dipunggungnya.
Tiupan angin mengeringkan rambutku, aku kembali berjalan ke arah pantai. Disambut handuk yang membuatku hangat serta makan nasi hangat membuat selera menjadi enak, apa ini pengaruh dari sisa garam di bibirku? tak peduli lagi, selesai ini aku masih ingin mengumpulkan kerang-kerang yang bila kuhembuskan napas kearah lubangnya akan muncul kaki-kaki yang lebih tepatnya disebut capit karena memang sakit bila dijepit.
Pantai Natsepa Ambon sekitar tahun 1983-1984
0 Comments:
Post a Comment
<< Home