Bumerang atau bukan?
"Hai, Fem!"
"Hai..."
"Kayaknya lagi pada sepi nih!"
"Iya..Tumben, apa kepagian ya?"
"Gak tau.."
Beriringan kami saling menyapa dari halaman rumah masing-masing yang hanya dibatasi tembok setinggi tak lebih dari setengah meter, menuju ke pintu gerbang rendah halaman. Rumah kami ini adalah bangunan kuno peninggalan jaman Belanda. Berbentuk kembar kopel 5 bertingkat, yang setiap rumah berukuran sama lebarnya yaitu 7 meter dan panjang 25 meter, memiliki daun pintu berdinding kaca juga berjendela kaca lebar-lebar, tiap halaman memiliki carport dan teras yang cukup luas, sedangkan sisi langit-langitnya pun tinggi dan berstruktur beton yang kokoh dan kuat. Lantai dasarnya merupakan sebuah ruang keluarga yang luas namun disisakan sedikit ruang untuk dapur, halaman belakang yang memiliki tempat cuci piring, gudang, sumur jernih dan kamar mandi sederhana. halaman belakang ini biasanya difungsikan sebagai lahan untuk membuat ruang dapur extra agar ratu koki keluarga menjadi lebih leluasa bekerja meracik cita rasa. Sebelum menuju ruang atas, mendaki anak tangga yang berjumlah 23 buah dan berpola huruf L membuat tantangan tersendiri. Di lantai atas terdapat 1 kamar utama, 2 kamar lain semua berukuran besar, voyer dan kamar mandi utama dengan penampung pembilas toilet yang tergantung diatasnya (-masih menyisakan merek dengan cetakan kuno yang timbul pada sisi depannya dan ukiran penahan besi yang antik serta unik). Hanya ada 24 rumah disitu dan tepat di tengah deretannya ada bangunan taman kanak kanak, setiap 5 rumah di batasi oleh sebuah lahan parkir dengan 2 garasi. Suasana sejuk dari goyangan daun pepohonan akasia yang berdiri berjajar di seberang jalan yang berbatasan dengan tembok putih setinggi 4 meter di lapisi hamparan batasan rumput yang telah rapih terpotong merintangi suasana panas saat siang hari datang.
Pagi itu menunggu kedatangan kendaraan tanpa mesin beroda tiga alias becak susah susah gampang, apalagi mengetahui jika kami berseragam pastilah tawaran harga selalu harus disesuaikan dengan kantong pelajar...
"SMP lima...???"
"Seribu...!"
"Ah..empat ratus aja!" (-hehe)
"tambahin enam ratus.."
"Gak, empat ratus"
"Hai..."
"Kayaknya lagi pada sepi nih!"
"Iya..Tumben, apa kepagian ya?"
"Gak tau.."
Beriringan kami saling menyapa dari halaman rumah masing-masing yang hanya dibatasi tembok setinggi tak lebih dari setengah meter, menuju ke pintu gerbang rendah halaman. Rumah kami ini adalah bangunan kuno peninggalan jaman Belanda. Berbentuk kembar kopel 5 bertingkat, yang setiap rumah berukuran sama lebarnya yaitu 7 meter dan panjang 25 meter, memiliki daun pintu berdinding kaca juga berjendela kaca lebar-lebar, tiap halaman memiliki carport dan teras yang cukup luas, sedangkan sisi langit-langitnya pun tinggi dan berstruktur beton yang kokoh dan kuat. Lantai dasarnya merupakan sebuah ruang keluarga yang luas namun disisakan sedikit ruang untuk dapur, halaman belakang yang memiliki tempat cuci piring, gudang, sumur jernih dan kamar mandi sederhana. halaman belakang ini biasanya difungsikan sebagai lahan untuk membuat ruang dapur extra agar ratu koki keluarga menjadi lebih leluasa bekerja meracik cita rasa. Sebelum menuju ruang atas, mendaki anak tangga yang berjumlah 23 buah dan berpola huruf L membuat tantangan tersendiri. Di lantai atas terdapat 1 kamar utama, 2 kamar lain semua berukuran besar, voyer dan kamar mandi utama dengan penampung pembilas toilet yang tergantung diatasnya (-masih menyisakan merek dengan cetakan kuno yang timbul pada sisi depannya dan ukiran penahan besi yang antik serta unik). Hanya ada 24 rumah disitu dan tepat di tengah deretannya ada bangunan taman kanak kanak, setiap 5 rumah di batasi oleh sebuah lahan parkir dengan 2 garasi. Suasana sejuk dari goyangan daun pepohonan akasia yang berdiri berjajar di seberang jalan yang berbatasan dengan tembok putih setinggi 4 meter di lapisi hamparan batasan rumput yang telah rapih terpotong merintangi suasana panas saat siang hari datang.
Pagi itu menunggu kedatangan kendaraan tanpa mesin beroda tiga alias becak susah susah gampang, apalagi mengetahui jika kami berseragam pastilah tawaran harga selalu harus disesuaikan dengan kantong pelajar...
"SMP lima...???"
"Seribu...!"
"Ah..empat ratus aja!" (-hehe)
"tambahin enam ratus.."
"Gak, empat ratus"
Tanpa ba bi bu lewat sajahh ...
"SMP lima??"
"Seribu..!"
"Empat ratus..ajah"
Yang ini juga sama...langsung ngacir!
Duhh!! Mau belagu dikit mewah tapi dompet ga cuocok! Udah gitu kudu milih si sopirnya (-hehe) harus yang pas, gak terlalu tua (-faktor ga bisa ngebalap!) dan ga terlalu anak-anak atau remaja (-suka ugal-ugalan sih) Pokoknya yang muda gitu ! Tapi entah mengapa pagi ini dari semua becak yang lewat tak ada yang mau mengambil kami menjadi penglaris awal pekerjaannya. Hingga tiba-tiba dari pojok jalan sana ada sosok yang mengangkat tangannya, kami berdua sama-sama menganggukan kepala akibat patah semangat nawar. Hmm, yang penting kami juga ga mau terlambat!!
Terlihat dari dekat ternyata, wajahnya sangatlah preman aseli! Berkumis tebal, Wajahnya berstruktur keras, bermata tajam, ia berkulit hitam legam, rambutnya terpotong rapi pendek, atasan pakaiannya yang dipakainya berwarna putih pudar dan bercelana panjang yang ujungnya digulung hingga setengah betis berwarna biru juga sangat pudar dan dilehernya tergantung kalungan handuk putih juga kumal serta topi khas milik para petani yang juga sudah tercabik -cabik, walaupun berbadan kecil tetapi di mata kami tetaplah berwajah seram! Bentuk becaknya juga tidaklah menarik seperti yang lain, berwarna kuning salah satu partai dengan dudukan putih dari plastik vynnil usang yang sebetulnya diperuntukan untuk melapisi lantai.
"SMP lima??"
"Seribu..!"
"Empat ratus..ajah"
Yang ini juga sama...langsung ngacir!
Duhh!! Mau belagu dikit mewah tapi dompet ga cuocok! Udah gitu kudu milih si sopirnya (-hehe) harus yang pas, gak terlalu tua (-faktor ga bisa ngebalap!) dan ga terlalu anak-anak atau remaja (-suka ugal-ugalan sih) Pokoknya yang muda gitu ! Tapi entah mengapa pagi ini dari semua becak yang lewat tak ada yang mau mengambil kami menjadi penglaris awal pekerjaannya. Hingga tiba-tiba dari pojok jalan sana ada sosok yang mengangkat tangannya, kami berdua sama-sama menganggukan kepala akibat patah semangat nawar. Hmm, yang penting kami juga ga mau terlambat!!
Terlihat dari dekat ternyata, wajahnya sangatlah preman aseli! Berkumis tebal, Wajahnya berstruktur keras, bermata tajam, ia berkulit hitam legam, rambutnya terpotong rapi pendek, atasan pakaiannya yang dipakainya berwarna putih pudar dan bercelana panjang yang ujungnya digulung hingga setengah betis berwarna biru juga sangat pudar dan dilehernya tergantung kalungan handuk putih juga kumal serta topi khas milik para petani yang juga sudah tercabik -cabik, walaupun berbadan kecil tetapi di mata kami tetaplah berwajah seram! Bentuk becaknya juga tidaklah menarik seperti yang lain, berwarna kuning salah satu partai dengan dudukan putih dari plastik vynnil usang yang sebetulnya diperuntukan untuk melapisi lantai.
"SMP lima, tigaratus!"
Kami berupaya membuat ciut....
"Ayo, saya antar..."
HAH!!!
Sepanjang perjalanan kami berdua yang biasanya ngobrol tentang jadwal pelajaran hari ini, tentang guru yang akan mengajar hingga materi yang mungkin akan sama dibahas pada hari sebelumnya, pekerjaan rumah dari sekolah hingga acara teve semalam, pagi itu berubah menjadi diam membisu, seperti ada yang dipendam...sedangkan laju roda becak itu nampak enggan sampai-sampai ketujuan, hingga..
"Ken..orangnya serem ya?" ucapnya berbisik
"Iya Fem..dianter sampe sekolah ga ya?" ucapku juga tetap sambil berbisik
"Mudah-mudahan deh!"
Akhirnya sampai juga
"Huh! Alhamdulillah..."batinku.
Ketika kuberikan uang recehan kami padanya...
"Terima kasih," ucapnya sambil membungkuk seta menengadahkan kedua tanganya,
uh....baru kali ini ´recehan´ kami dihargai!
"Mau naik becak saya lagi?"
Kami saling pandang, kemudian sepakat...menggangguk!
"Ya..mau"
"Saya jemput jam berapa?"
"Jam duabelas siang saja..ditempat yang sama ini"
Dan sejak hari itu hingga kami lulus kuliah..bekerja kemudian menikah, Daeng Becak Tolla menjadi favorit kami dan para warga kompleks kami juga. Tentu saja dengan ´tarif´ yang lebih manusiawi. Tak seseram wajahnya Daeng Tolla hatinya murni baik tak serakah, jujur dan tetap santun.
Kami saling pandang, kemudian sepakat...menggangguk!
"Ya..mau"
"Saya jemput jam berapa?"
"Jam duabelas siang saja..ditempat yang sama ini"
Dan sejak hari itu hingga kami lulus kuliah..bekerja kemudian menikah, Daeng Becak Tolla menjadi favorit kami dan para warga kompleks kami juga. Tentu saja dengan ´tarif´ yang lebih manusiawi. Tak seseram wajahnya Daeng Tolla hatinya murni baik tak serakah, jujur dan tetap santun.
Ahhhh, janganlah memandang sisi buruk manusia berawal dari kulitnya saja, banyak sekali jika hanya melihat kebaikan dari kelembutan dan keindahan kulit luarnya, ternyata justru bisa membuat kita schock sekejap! Geleng geleng tak percaya. Wahh pokoke ajaib!
Read More.....